Probolinggo – Kekerasan seksual merupakan bentuk kejahatan berat, apalagi jika kasus tersebut menimpa anak di bawah umur.
Masa depan anak bisa saja hancur akibat pencabulan tersebut, karena peristiwa keji yang dialami korban yang notabene anak-anak dapat mengguncang psikologis mereka dan sulit dilupakan.
Kasus dugaan kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur kini menjadi sorotan Ormas Demi Anak Generasi (DAG) Jatim.
Ketua DAG Jatim, Bobby Harlen mengatakan,
“Kita harus tegas atas kejadian yang viral hari ini yakni kekerasan seksual pada anak di bawah umur, supaya korban yang notabebe adalah anak generasi kita kelak jika dewasa tidak menjadi trauma atau bahkan dendam kepada orang tuanya karena masa lalunya.”, ujar Bobby. (23/1/2021)
“Upaya persetubuhan yang dilakukan terhadap anak di bawah umur dikategorikan sebagai tindak kekerasan seksual atau pemerkosaan, sehingga jelas dapat dipidana.”, lanjut Bobby.
Di tengah masyarakat, ada kalanya kasus pencabulan atau pemerkosaan dianggap sebagai aib, sehingga para korban sering kali enggan melaporkannya.
Korban takut mendapatkan sorotan negatif dari masyarakat, sehingga mereka lebih memilih memendam kasus tersebut secara diam-diam.
Padahal dampaknya sangat buruk bagi korban, serta bahayanya adalah tidak membuat pelaku jera. Bungkamnya korban justru membuat pelaku tetap melancarkan aksinya dan membuat semakin banyak korban.
Begitu dikatakan Bobby.
Terpisah, dalam rangka mengedukasi masyarakat, LBH Cinta Keadilan Semesta (CKS) Koordinator Wilayah Jatim-7 menanggapi,
“Perlindungan terhadap anak diatur dalam Undang-Undang nomor 35 tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak.
Yang terakhir diubah dengan Undang-Undang nomor 17 tahun 2016 tentang penetapan peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang nomor 1 tahun 2016 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak menjadi Undang-Undang.”, tutur Tjandra.
Selanjutnya Tjandra memaparkan,
Larangan kejahatan seksual berupa perbuatan cabul terhadap anak diatur dalam pasal 76E Undang-Undang nomor 35 tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak.
Dalam Pasal 76E tersebut dikatakan : ”Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul”.
Pelaku pencabulan terhadap anak dapat dikenakan sanksi berdasarkan pasal 82 ayat (1) junto pasal 76E Undang-Undang nomor 35 tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak.
Dengan sanksi pidana berupa pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun.
Terkait kasus dugaan kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur yang terindikasi mangkrak penanganannya di Polres Probolinggo, Veronika selaku Ketua Ormas Demi Anak Generasi (DAG) Probolinggo mengatakan,
“Ketiadaan hasil visum bukan berarti Polres Probolinggo tidak dapat melanjutkan proses perkaranya,
Hasil pemeriksaan oleh psikolog anak dapat menjadi bukti. Keterangan ahli merupakan salah satu bukti yang sah.”, tegasnya.
Lebih lanjut, Veronika yang juga sebagai Wakil Ketua LSM Generasi Masyarakat Adil Sejahtera (GMAS) Jawa Timur mengutarakan,
“Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Perlindungan terhadap anak salah satunya berupa perlindungan dari tindak kekerasan, baik kekerasan fisik, kekerasan psikis, kejahatan seksual dan penelantaran.”, kata Veronika Juga di Iyakan oleh Ketum korma Nusantara S.Riyanto.